Perbedaan Pemahaman Munculnya Manusia Pertama Antara Teori Evolusi "Darwin" Dengan Firman Alloh SWT.

Adam a.s. Manusia Pertama
--------------------------
Oleh: TAURA


1. Pendahuluan

Akhir-akhir ini dikalangan umat Islam terlihat adanya
kecenderungan timbulnya paham pemikiran "rationalisasi" dalam
menafsirkan banyak ayat-ayat Al Qur'an. Hal ini tampaknya terutama
didorong oleh lahirnya teori-teori dalam bidang Sains yang berbenturan
dengan firman-firman Allah Swt dalam Al Qur'an. Sebagian muslim
kemudian cenderung menjadi "apologetik" dengan menyatakan bahwa
ayat-ayat Al Qur'an tidak bertentangan dengan teori-teori ilmu
pengetahuan, lalu dibuatlah interpretasi interpretasi ayat Al Qur'an
agar sesuai dengan teori-teori tersebut.

Contoh yang sangat jelas adalah berkenaan dengan teori evolusi
organik dalam ilmu biologi yang melibatkan manusia sebagai kelompok
primata dan karena itu tidak lepas dari proses evolusi ini, bahwa
manusia adalah keturunan primata yang ada terlebih dahulu dan karena
itu secara biologis memiliki hubungan kekerabatan. Teori diatas jelas
bertentangan dengan anggapan umum masyarakat beragama (baik Islam
maupun Kristen, Jahudi dan lainnya) yang percaya bahwa manusia tidak
memiliki hubungan asal-usul secara biologis dengan makhluk lainnya,
bahwa manusia diciptakan Tuhan secara tersendiri, terpisah dari proses
penciptaan makhluk yang lain. Dalam Al Qur'an ataupun Injil Allah
dengan tegas menyebut bahwa Adam as adalah manusia pertama yang
diciptakan Allah swt, dan ia diciptakan dari tanah, bukan dari sel
(sperma dan telur) makhluk lain sebelumnya.

Tulisan dibawah ini mencoba untuk mengkaji masalah asal-usul
manusia ini terutama untuk melihat bagaimana sebenarnya Al Qur'an
menjelaskan masalah ini, dan apakah ayat-ayat Al Qur'an yang berkenaan
dengan penciptaan Adam as, sebagai manusia pertama, memiliki
kemungkinan untuk diartikan sebagaimana yang terkandung dalam teori
evolusi organik atau tidak. Disamping itu tulisan ini juga mencoba
untuk mengkaji seberapa jauh teori evolusi teruji kebenarannya melalui
penemuan ilmiah hingga saat ini.

2. Surga tempat Manusia pertama dicipta

Ada sekelompok "cendekiawan" muslim yang menafsirkan bahwa surga
tempat dimana Adam as dahulu berada bersama pasangannya adalah bumi
yang kita diami ini. Interpretasi ini dikemukakan sebagai langkah
awal untuk memungkinkan masuknya teori evolusi organik dalam bahasan
Qur'anik, sebab dengan menyatakan bahwa surga tempat Adam dicipta
sebenarnya adalah suatu "taman" dibumi akan membuka peluang
diterimanya konsepsi proses evolusi organik, yang secara ilmiah
dipercayai sebagai suatu fakta, dimana primata awal yang hidup di bumi
berjuta tahun yang lalu telah berevolusi sehingga melahirkan species
baru: Homo sapiens dan ini dianggap sebagai awal dari asal-usul
manusia, dan menurut mereka ini membuktikan bahwa ayat Al Qur'an tidak
bertentangan dengan fakta ilmiah.

Secara eksplisit Allah swt menyatakan bahwa manusia pertama yang
diciptakan-Nya adalah Adam as (Q.S.7:11). Ia dicipta Tuhan di surga,
suatu tempat yang luasnya seluas langit dan bumi (Q.S. 3:133, 57:21).
Berdasarkan ayat diatas sukar untuk dapat diterima kesimpulan yang
menyatakan bahwa surga tersebut adalah suatu tempat atau taman di
bumi, karena dalam dimensi ruang surga jauh lebih luas dari bumi
semata, surga adalah seluas langit dan bumi.

Dalam dimensi waktu, atas kehendak Allah, surga adalah suatu
tempat yang kekal yang tidak akan musnah sampai kapanpun
(Q.S.3:136,198,35:35) sedangkan bumi akan punah suatu saat kelak
dihari kiamat. Sementara manusia tengah hidup di dunia saat ini surga
telah ada di sana menanti dengan sabar datangnya para kekasih Tuhan
(Q.S. 19:61) sebagaimana yang telah dijanjikan Tuhan. Dalam Hadits
dikatakan bila Ramadhan tiba pintu-pintu surga dibuka dan juga Nabi
Muhammad saw dalam peristiwa Isra' Mi'raj telah pernah diperlihatkan
surga ini kepadanya. Bahkan surga telah ada sebelum Adam as dicipta.

Dalam gambaran fisik surga yang didiami Adam dan isterinya itu
dijelaskan oleh Allah swt sebagai:

"Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan
telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak
(pula) akan ditimpa panas matahari didalamnya".

Dengan gambaran yang diberikan ayat diatas, akan sangat sukar bagi
kita untuk menerima pendapat yang mengatakan bahwa surga tersebut
adalah suatu tempat dibumi, sebab hal tersebut justru akan sangat
menjadi tidak logis, bertentangan dengan fakta ilmiah itu sendiri.
Dibelahan bumi mana orang dapat hidup tanpa merasa lapar dan dahaga ?
Dibelahan bumi mana orang tidak akan telanjang tanpa membuat baju
terlebih dahulu ? Dibelahan bumi mana panas matahari tidak sampai ?
di kutub ? Mungkinkah surga itu di kutub ? betapa tidak nyamannya,
betapa tidak cocoknya untuk menjadi sebuah surga. Surga adalah tempat
yang tidak panas dan tidak dingin bersangatan.

Gambaran surga tempat Adam as dan pasangannya dahulu tinggal sama
sekali tidak berbeda dengan gambaran surga yang dijanjikan oleh Allah
swt kelak bagi mereka yang beriman dan beramal shaleh. Tidak
ditemukan dalam Al Qur'an bahwa Tuhan memberikan pengertian yang
berbeda mengenai surga tempat Adam semula dengan surga yang telah
dijanjikan untuk orang-orang yang shaleh nanti.

Ada juga sekelompok "cendekiawan" muslim yang berpendapat bahwa
surga tempat Adam dahulu tinggal itu tidak mungkin surga yang
sebenarnya karena ditempat itu Adam as dapat digoda oleh Iblis,
sedangkan Iblis tidak dapat masuk ke dalam surga. Mengapa Syeitan
dapat menggoda Adam di surga itu ? Hemat saya karena Syeitan telah
meminta kepada Tuhan untuk "diberi tangguh" (lihat Q.S.7:13-17) dan
Tuhan memberi tangguh, untuk "menemani" dan "menggoda" Adam dimana
saja dia berada (termasuk di Surga, tentu saja ini hanya berlaku pada
saat itu, tidak setelah akhir jaman nanti). Syeitan menggoda Adam
melalui jalan pikirannya: "Kemudian syeitan membisikkan pikiran jahat
kepadanya..." (Q.S.20:120; 7:20). Selanjutnya Adam dan syeitan diusir
dari syurga pada saat yang bersamaan: "Qul nahbithuu minhaa jamii'an"
(2:38).

Interpretasi lain yang telah dikemukakan oleh beberapa
"cendekiawan" muslim ini adalah berkenaan dengan ayat-ayat Al Qur'an
yang memuat dialog antara Allah Swt dengan para malaikat. Dalam
dialog tersebut timbul kesan bahwa Adam hanyalah merupakan pengganti
makhluk lain sebagai Khalifah di muka bumi. Dengan Malaikat
menyatakan: "Untuk apa Engkau menciptakan manusia sebagai khalifah
dimuka bumi yang hanya akan menumpahkan darah satu sama lain ?"
menurut mereka ini menunjukkan bahwa Adam as atau manusia secara
keseluruhan adalah hanya sebagai penerus missi kekhalifahan yang
diemban makhluk sebelumnya yang telah berbuat kedzaliman dan kerusakan
di muka bumi, dan karena itu membawa implikasi akan kemungkinan
menginterpretasikan Adam as sebagai hasil lanjut dari proses evolusi
organik makhluk (primata) sebelumnya.

Argumen diatas jelas bertentangan dengan ayat yang menyatakan
bahwa tidak satu makhlukpun baik yang berada di bumi maupun yang
berada di langit yang mau menerima amanah untuk menjadi Khalifatullah
dimuka bumi sebagaimana yang ditawarkan oleh Allah Swt. Hanya
manusialah yang menerima tawaran tersebut (Q.S.33:72). Andaipun ada
makhluk-makhluk lain sebelum manusia (di bumi) yang saling menumpahkan
darah satu sama lain, tentunya mereka berprilaku sebagai- mana para
hewan berkelahi untuk urusan "biologis"nya, dan mereka tidak akan
dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak ada khalifah sebelum
manusia di muka bumi ini. Mengapa kemudian para malaikat dapat
menyatakan bahwa "manusia akan saling menumpahkan darah antar sesama
mereka" kalau sebelumnya tidak ada makhluk yang kelakuannya seperti
manusia ? Pada pemahan saya ini dimungkinkan karena para Malaekat itu
telah diberi sedikit ilmu oleh Allah Swt termasuk ilmu untuk melihat
atau mengetahui beberapa hal yang akan terjadi dimasa yang akan
datang. Tak ada satu halpun diketahui oleh para Malaikat kecuali bila
Allah telah memberi tahu atau mengajarkannya kepada mereka:
"SubhaanaKa laa 'ilma lanaa illaa maa 'allamtanaa, innaKa
antal-'aliimul hakiem" (2:32). Ingat kisah tentang Nabi Khaidir, yang
diberi kemampuan oleh Allah swt untuk mengetahui nasib apa yang akan
terjadi pada beberapa orang yang ditemuinya dalam perjalanannya dengan
nabi Musa as.

Adapula "cendekiawan" muslim yang berpendapat bahwa Adam as bukan
manusia biologis pertama, tetapi manusia sosiologis pertama. Pendapat
ini tentunya dimaksudkan untuk mencari kompromi bahwa secara biologis
Adam adalah keturunan hewan sementara secara sosiologis ia berbeda
dari hewan lainnya, mengingat keunggulan manusia dalam bidang
kebudayaan. Pada pemahaman saya manusia bukan makhluk sosial pertama.
Hewan-hewan maupun tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda yang tampaknya
mati adalah makhluk-makhluk sosial yang telah ada sebelum manusia itu
sendiri dicipta, mereka dapat berkomunikasi satu sama lain dengan
bahasa mereka dan mereka dapat mendengar perintah Tuhan. Sekedar
untuk menyebutkan contoh, serangga seperti semut, lebah dan rayap
tidak disangsikan lagi memiliki sistem sosial yang tidak kalah
canggihnya dengan yang dimiliki manusia. Bahkan Jin yang dicipta
lebih dahulu dari manusia juga makhluk sosial yang memiliki kewajiban
lebih kurang sama dengan manusia, bedanya manusia adalah kalifah di
muka bumi, jadi posisi manusia lebih utama, mestinya.

3. Proses Penciptaan Adam a.s.

Pembicaraan kita belum lagi melangkah pada konsep evolusi secara
general, tetapi baru menyentuh titik persinggungan dengan manusia
sebagai salah satu objek dari teori tersebut, sebab dalam konteks
itulah terutama teori evolusi melahirkan kontroversi yang tajam dalam
masyarakat "ilmiah" dan antara masyarakat 'ilmiah' melawan masyarakat
"agamis".

Dalam Al Qur'an dinyatakan bahwa manusia berasal dari tanah (Q.S.
32:7), tanah liat-kering-seperti tembikar (Q.S.15:26, 55:14) ini
tentunya menunjuk pada penciptaan Adam as. Sementara keturunannya
dinyatakan sebagai diciptakan dari saripati (berasal dari tanah),
saripati air yang hina (mani) sebagaimana firman-Nya lagi (Q.S.32:7-9)

"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan kedalamnya roh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur".

Dari ayat diatas, jelas tersirat bahwa Allah telah menciptakan
manusia secara terpisah dari makhluk lainnya dan karena itu tidak ada
hubungan evolusi biologis antara manusia dengan makhluk lainnya yang
ada di muka bumi. Seandainya Adam adalah hasil dari proses evolusi
biologis dari makhluk hidup primata sebelumnya yang telah ada dibumi,
maka tentunya Allah tidak akan menyatakan "Yang memulai penciptaan
manusia dari tanah kemudian menjadikan keturunannya dari saripati air
yang hina".

Selanjutnya dalam Q.S. 3:59,60 Allah membandingkan penciptaan
Isa as sama dengan penciptaan Adam as:

"Sesungguhnya misal (penciptaan) 'Isa disisi Allah, adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah
berfirman kepadanya: 'Jadilah' (seorang manusia), maka jadilah dia.
(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang
dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang
ragu".

Proses penciptaan Isa as adalah diluar kemampuan ilmu pengetahuan
manusia (biologi dan medis) saat ini (dan mungkin hingga akhir jaman)
untuk memahaminya secara 'ilmiah', demikian pulalah halnya dengan
penciptaan Adam as. Dengan penciptaan Isa as itu sebenarnya Allah
hendak menunjukkan kepada manusia bahwa Allah Maha berkehendak dan
Maha Kuasa. Allah dapat menciptakan sesuatu diluar kebiasaan
sebagaimana yang dipahami akal pikiran manusia. Contoh ini
menunjukkan bahwa terciptanya Adam as tidak dapat dipahami semata
dengan akal pikiran manusia yang terbatas, ia perlu dimensi lain:
Keimanan. Ini tidak bermakna sebagai menghalangi muslim untuk

menggunakan akal pikiran dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an, tetapi
mengingatkan Muslim bahwa akal semata tidak menjamin sampainya
pemahaman kita kearah yang benar sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Allah Swt. Bahkan sesungguhnya dengan menyadari bahwa kemampuan akal
kita sangat terbatas adalah merupakan suatu bentuk kesadaran yang
sangat logis, thus ILMIAH. Justru pernyatakan bahwa "akal manusia
memiliki kapasitas yang tak terbatas dan karena itu manusia akan mampu
memahami apa saja" merupakan suatu konklusi yang tidak logis, tidak
ilmiah.

Maurice Bucaille (1987) dalam bukunya "What is the origin of man"
berpendapat bahwa bukti-bukti "ilmiah" saat ini sama sekali tidak
mendukung pendapat yang mengatakan bahwa manusia itu berasal dari
keturunan primata sebelumnya, "they do not possess one iota of
evidence to prove their theory" tulisnya. Kendati begitu Bucaille
berkeyakinan bahwa sejak diciptakan oleh Allah dahulu, manusia telah
mengalami proses yang disebutnya sebagai "transformasi morfologis"
sehingga menurutnya dapat menjelaskan proses perubahan bentuk tubuh
sebagaimana yang ditemukan dari bukti-bukti fossil sejauh ini,
"creative evolution" tulisnya "may thus be said to have caused the
appearance of a human lineage which was subsequently to undergo its
own specific transformations". Manusia dari bentukan
"Australopithecus" (beberapa juta tahun yang lalu) mengalami
transformasi struktural ke bentukan "Neanderthal Man" (sekitar 100
ribu tahun yang lalu) dan ke bentukan "Cro-Magnon Man" dari mana
species manusia kemudian secara praktikal mencapai bentukan "Homo
Sapiens" (yang ditaksir lahir sekitar 40 ribu tahun yang lalu).
Perubahan bentuk itu menurutnya adalah suatu proses 'transformasi'
yang "undeniable". Dengan pendapatnya ini dia berhajat untuk
menjembatani kesenjangan yang ada antara Sains dan pandangan "Holy
Scriptures", lalu ia menantang, bahwa dengan cara apapun
di-interpretasikannya teori evolusi orang tidak akan menemukan
kesalahan pada ayat-ayat dalam KitabuLlah, khususnya Al Qur'an.

Diantara ayat-ayat Al Qur'an yang digunakan Bucaille untuk
menyokong pendapatnya diatas adalah:

-Q.S. 95: 4 yang diartikannya sebagai: "We fashioned man according
to the best organizational plan"

-Q.S. 71: 14 yang diartikannya sebagai: "(God) fashioned you in
stages (or phases)"

khusus mengenai ayat yang kedua dia berpendapat bahwa disamping ayat
itu secara jelas merefer pada perkembangan bayi dalam uterus juga "it
is a point of worth pondering" untuk mengartikannya sebagai
transformasi "species" manusia dalam dimensi waktu. Berangkat dari
ayat ini Bucaille memformulasikan suatu jurus "kompromi" antara sains
dengan KitabulLah, Al Qur'an khususnya.

Apabila kita perhatikan adanya variasi pada postur tubuh manusia
saat ini, maka tidak disangsikan lagi bahwa lingkungan memberikan
pengaruh pada struktur dan morfologi detail dari manusia, karena itu
kita mengenal banyak ras, ada ras yang ukuran tubuhnya besar dan
tinggi seperti bangsa Aria di Eropa, tetapi ada juga yang kecil dan

pendek seperti suku Bushman di Afrika atau suku Aborigin di Australia.
Variasi postur tubuh manusia itu bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
geografi tetapi tentunya juga oleh waktu. Apabila manusia jutaan
tahun yang akan datang (kalau belum kiamat) dalam ekskavasi ilmiahnya
menemukan tulang-belulang seorang suku Aborigin yang meninggal ditahun
2000 misalnya, dan hanya fossil itu yang mewakili manusia jamannya
(yang lain 'hilang' di perut bumi akibat katastrofi yang beruntun
misalnya), bukankah "absurd" apabila disimpulkan bahwa manusia pada
jaman itu (tahun 2000) semua sama dengan suku Aborigin postur tubuhnya
? Anehnya para ahli fossil hingga saat ini menggunakan temuan
satu-dua fossil untuk mewakili suatu generasi "manusia" yang ada pada
suatu masa, misal Australopithecus mewakili primata tingkat tinggi
pada jamannya, begitu juga dengan Homo Neanderthal, Homo Mojokertensis
Manusia Peking dan lainnya, lalu menjalin hubungan silsilah 'evolusi'
atau dalam teori Bucaille 'transformasi struktural' hingga mencapai
postur species manusia yang ada saat ini. Dimanakah validitas
ilmiah-nya dari projeksi seperti itu ? Saya tidak dapat "mengunyah"
apalagi "mencernanya".

Ketika diciptakan oleh Allah Swt, Adam as mestilah manusia yang
bentuknya telah sempurna, tidak ada kekurangannya dibandingkan dengan
manusia sekarang. Allah telah membentuknya dalam rupa yang
sebaik-baiknya, sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya" (Q.S.95:4).

Sebaliknya, teori evolusi atau teori 'transformasi'nya Bucaille
menyatakan bahwa manusia mengalami perkembangan dari kondisi tubuh
yang sederhana, dari posisi membungkuk menuju kondisi tubuh yang lebih
baik dan dengan posisi tubuh tegak (Homo erectus), dengan volume otak
yang berkembang semakin meningkat yang menunjukkan meningkatnya
tingkat kecerdasan manusia dari jaman ke jaman. Teori ini di-klaim
sebagai disokong oleh fakta-fakta yang ditemukan dari fossil manusia
purba. Muslim seperti apakah yang dapat mencerna statement bahwa
"Adam as adalah manusia primitif yang tubuhnya membungkuk, volume
otaknya kecil, thus bodoh ?"

Dalam bahasan ilmu "Population Biology" organisma memiliki,
secara garis-besarnya, dua strategi untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya: strategi 'k' atau strategi 'r', yakni strategi dengan
bentuk tubuh yang besar-tinggi, umur yang panjang dan populasi yang
jarang dalam suatu masa seperti yang dianut oleh gajah dan 'ikan' paus
misalnya; atau strategi yang tubuhnya kecil-pendek, umur yang singkat
tetapi populasi yang berlimpah pada suatu masa seperti yang dianut
oleh hewan-hewan kecil seperti semut dan ikan-ikan kecil di laut.
Pemilihan strategi itu disesuaikan dengan kondisi lingkungan seperti
ketersediaan sumber daya alam atau kapasitas bawa (carrying capacity)
dari lingkungannya, predasi (pemangsaan) oleh makhluk lain, dan
sebagainya. Hingga suatu batasan tertentu strategi ini dapat
berubah-ubah apabila lingkungan mendesak (ini tidak berarti bahwa
gajah harus mengubah bentuk tubuhnya menjadi sekecil semut atau semut
menjadi sebesar gajah). Ketidakmampuan untuk mengubah strategi hidup
dapat berakibat fatal sebagaimana yang tampaknya (secara 'ilmiah')
terjadi pada Dinosaurus.

Hal itu saya kira terjadi juga pada manusia, karena betapapun
juga kita adalah makhluk biologis dalam arti tersusun atas
daging-darah-tulang-jaringan-sel-gen-DNA sebagaimana hewan lainnya
(adanya persamaan unsur biologis ini memang menggiurkan para
'evolutionits' untuk menyusun urutan kekerabatan atau pohon filogeni
antar makhluk yang ada di muka bumi). Sekarang masalahnya kearah
manakah perubahan strategi kelangsungan hidup secara biologis itu
terjadi pada manusia dari jaman "alif" hingga jaman "yah" ? atau
meminjam istilah Bucaille, kearah manakah "transformasi struktural"
itu berjalan ? Apakah manusia berubah dari posisi membungkuk ke
posisi tegak ? Dari postur tubuh yang kecil ke postur tubuh yang
tinggi besar ? Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut ?

Bila mempertimbangkan pengaruh lingkungan, Adam as tentunya
memiliki bentuk tubuh, kecakapan, kekuatan, kesehatan yang jauh lebih
baik dari pada manusia sekarang. Mengapa demikian ? Karena jaman
Adam dulu belum ada polusi industri, belum ada perusakan lingkungan
oleh tangan-tangan manusia, alam masih begitu "suci" dari jamahan
tangan-tangan kotor manusia. Secara logika saya kira masa hidup Adam
as jauh-jauh lebih lama dari pada masa hidup manusia sekarang. Nabi
Nuh as dikaruniai usia lebih dari 950 tahun (atau dalam bahasa Al
Qur'an: Seribu tahun kurang lima puluh tahun), sementara usia manusia
saat ini rata-rata 60-70 tahun, dan itulah usia rata-rata yang
diberikan Allah kepada umat nabi Muhammad hingga akhir jaman,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Secara bergurau teman saya
bilang bahwa apabila umur manusia saat ini rata-rata katakan saja
lebih dari 100 tahun, apa yang akan terjadi ? kepadatan penduduk yang
semakin menjadi-jadi tentu saja, dengan seribu-satu problemanya:
kriminalitas, penganguran, kesenjangan kehidupan sosial yang semakin
parah, dst.

Saya mengira sebagaimana yang disebut dalam beberapa hadits bahwa
Adam as adalah manusia yang tinggi besar yang sempurna bentuk
tubuhnya, yang bahkan lebih mengagumkan postur tubuhnya dibandingkan
dengan postur tubuh kebanyakan manusia saat ini. Dalam dinamika
populasi species manusia dari jaman Adam, perubahan itu tampaknya
mengarah dari himpunan karakter 'Alif' [bentuk yang besar, tinggi,
umur panjang, jumlah sedikit] ke arah himpunan karakter "Yah" [bentuk
yang kecil, pendek, umur singkat, jumlah yang banyak]. Bentuk
transformasi itu tentu saja tidak sederhana atau linear tetapi
mengalami dinamika yang seimbang silih berganti antara karakter yang
satu dengan karakter yang lain, mirip dinamika yang timbul akibat
mekanisma 'heterozygote advantage' dalam kajian 'Genetika Populasi'
walaupun akhirnya mengarah pada suatu bentuk transformasi. Dengan
argumen diatas saya menyanggah trend yang ditawarkan baik oleh teori
Evolusi-manusia Darwinism atau tawaran 'transformasi-manusia' ala
Bucaille.

4. Manusia sebagai pendatang di bumi

Fakta bahwa manusia adalah makhluk biologis sebagaimana hewan dan
memiliki kemiripan struktural, morfologis dan fisiologis dengan hewan
merupakan kunci legitimasi sains dalam memasukkan manusia dalam
sistematika klasifikasi dunia hewan (animal kingdom) dengan pertalian
filogeni (kekerabatan) dengan hewan-hewan yang ada di dunia.

Mengapa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang tidak jauh
berbeda dari hewan lain seperti chimpanse, gorilla atau Orang-Utan,
dan secara general dengan mammalia lain seperti dalam hal melahirkan
anak, menyusui dst ? Pada hemat saya jawaban atas pertanyaan itu
sangat jelas, yakni karena Allah telah menentukan bumi ini sebagai
tempat tinggal (yang sementara) bagi manusia maka Allah telah
menciptakan manusia dan melengkapinya dengan unsur-unsur yang cocok
untuk hidup dan berkembang di muka bumi ini sebagai suatu prasyarat
minimal. Dengan kata lain manusia harus memiliki kemampuan biologis
sebagai suatu prasyarat minimal untuk beradaptasi dengan lingkungan
dimana dia tinggal untuk survive dan melangsungkan keberadaan
species-nya dari generasi ke generasi, karena itu ia diciptakan dari
tanah dan memakan tumbuhan dan hewan yang telah diciptakan Allah bagi
manusia untuk dapat hidup dimuka bumi. Seandainya unsur pembangun
tubuh manusia adalah merupakan benda-benda asing yang tidak ada di
bumi, maka tentunya Adam as dan isterinya tidak akan mampu bertahan
hidup, apalagi anak-cucunya kemudian.

Tetapi dengan unsur biologis saja manusia akan sukar untuk
sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan di bumi ini. Dalam banyak
hal kita tidak siap secara otomatis menghadapi lingkungan sebagaimana
hewan bereaksi. Kita perlu melakukan ikhtiar ekstra (yang
non-biologis) yang tidak perlu dilakukan oleh hewan-hewan untuk
bertahan hidup, melindungi diri dari teriknya matahari, dinginnya
salju dan hembusan angin. Manusia membuat baju untuk menutupi
tubuhnya dari tidak nyamannya udara diluar, bahkan baju yang
tebal-tebal. Adakah hewan-hewan yang merasa perlu atau sadar untuk
memakai baju agar hidup nyaman dibumi ini ? Tidak ada, sebab bumi
adalah tempat tinggal asli mereka dan tubuh mereka telah 100 % dibuat
sesuai dengan kondisi lingkungannya, sesuai dengan 'niche' (relung)
yang telah ditetapkan bagi masing-masing species. Burung-burung dapat
dengan tenang terbang diangkasa kendati suhu diluar begitu dinginnya,
dan angin bertiup begitu kencangnya, sebab sistem peredaran darahnya
dan bulu-bulu dan sayapnya cukup untuk melindungi dirinya dari
dinginnya cuaca diluar. Setiap hewan telah dilengkapi dengan
struktur, morfologi dan fisiologi tubuh yang sesuai untuk hidup
dilingkungannya sehingga tidak memerlukan usaha tambahan seperti yang
dilakukan manusia.

Kendati tampaknya sepele tetapi bahwa manusia perlu menutup
tubuhnya dengan pakaian karena adanya rasa malu, untuk menjaga
kesehatan dan mendapatkan kenyamanan, adalah merupakan suatu pertanda
bahwa secara biologis saja manusia tidak akan mampu bertahan hidup
dalam lingkungan bumi yang tidak terlalu ramah, karena tubuhnya tidak
dilengkapi dengan bulu-bulu yang menghangatkan seperti yang dimiliki
oleh hewan-hewan lain, tidak memiliki taring atau kuku-kuku yang tajam
setajam harimau, srigala, tidak memiliki tanduk bahkan tidak
menghasilkan bisa dari tubuhnya. Secara biologis manusia adalah
makhluk yang lemah dibandingkan dengan makhluk lainnya, ia tidak siap
untuk hidup di rimba raya berhadapan dengan binatang buas apabila
tidak dilengkapi dengan dimensi lain yang non-biologis: akal,
kesadaran, peralatan dan kemampuan untuk memanipulasi lingkungannya.
Apabila proses evolusi biologis bersifat deterministik menuju kepada
terciptanya makhluk yang sempurna, kuat secara biologis, maka tentu
manusia bukan berada pada puncak dari proses itu, ia bahkan mungkin
lebih rendah posisinya dari seekor laba-laba.

Manusia bukanlah penduduk asli bumi, manusia secara biologis
tidak 100 % adaptable untuk hidup di bumi ini. Ia harus menggunakan
dimensi lain yang tidak biologis sifatnya: pikiran, perasaan; sesuatu
yang sifatnya non-materi. Betapapun ada kesamaan biologis antara
manusia dengan hewan yang ada di bumi, tokh manusia tidak dapat
menutup dirinya atau melupakan kenyataan bahwa ia sebenarnya tak lebih
dari sekedar PENDATANG di bumi ini.

Disini saya melihat sains sebagai gagal dalam mengidentifikasi
manusia secara utuh dan menyeluruh, karena sains telah dikungkung
dalam dimensi materialistik belaka. Sains tidak dapat mendedah otak
manusia lalu menemukan susunan kata-kata, teori, konsep dan ide-ide
didalamnya, yang ada hanya sel-sel yang biologis sifatnya, sains tidak
dapat mendedah hati lalu menemukan elemen-elemen rasa bahagia, indah,
cinta, marah, cemburu didalamnya, yang ada hanya darah, jaringan,
sel-sel biologis. Lalu dimanakah bersembunyinya pikiran dan perasaan
manusia itu, apakah elemen-elemen pembangunnya ? Apa yang dilakukan
oleh sains saat ini adalah seperti seorang awam yang mendedah 'tape'
untuk mencari elemen suara didalamnya, atau mendedah sebuah
floppy-disk dan mencari kata-kata didalamnya. Lalu pertanyaan yang
sangat crucial, apabila betul bahwa manusia itu berasal dari hewan
primata sebelumnya, bagaimanakah nilai-nilai atau norma-norma
diturunkan, bagaimanakah 'rasa' itu diwariskan, bagaimanakah
kepandaian itu di-evolusikan ? Jelas ada kesenjangan yang sangat
tajam dan dalam antara kemampuan non-biologis manusia dengan kemampuan
non-biologis hewan-hewan, dan ini bukan semata-mata merupakan fungsi
dari volume otak, saya kira.

Senada dengan argumen saya diatas, pertanyaan mengenai apakah
manusia merupakan produk dari proses evolusi ataukah "diciptakan"
(tanpa proses evolusi), menurut 'Alija 'Ali Izetbegovic (sekarang
Presiden Bosnia), dalam bukunya "Islam between East and West" (1985),
sebenarnya mesti berangkat dari pertanyaan: siapakah manusia ?
Apakah dia merupakan bagian dari dunia ataukah sesuatu yang berbeda
dari dunia ?

'Alija melihat permasalahan ini dari sudut psikologi, kejiwaan.
Menurutnya manusia memiliki rasa "seni" yang menyebabkannya berbeda
dari makhluk lain. Sains mungkin dapat melukis dunia dengan detail,
tetapi gagal dalam menangkap dimensi hakiki dari realitas.
Pengetahuan mengenai manusia adalah mungkin hanya jika manusia itu
merupakan bagian dari dunia atau produk dari dunia, yakni jika ia
suatu benda. Berlawanan dengan itu seni menjadi mungkin bila manusia
berbeda dari alam, jika manusia itu adalah makhluk asing didalamnya,
jika dia adalah suatu kepribadian.

Seorang manusia, dalam argumentasinya, bukan merupakan hasil
penjumlahan dari fungsi-fungsi biologis sebagaimana halnya lukisan
tidak dapat dikurangi nilainya setara dengan jumlah cat yang
digunakan, atau puisi dengan kata-katanya. Benar bahwa sebuah Masjid
dibangun dari sejumlah tertentu batu-batuan, kayu dsb; tetapi ini
bukan gambaran masjid yang sebenarnya. Pada akhirnya ada perbedaan
antara masjid dengan barak militer. Sebuah puisi tidak sama dengan
sebuah kamus. "A dictionary is exact but senseless, a poem has a
meaning and an unattainable essence". Fossil, morfologi dan psikologi
mengggambarkan hanya bagian luar dari manusia. Manusia lebih seperti
sebuah lukisan, sebuah Masjid atau sebuah puisi, bukan sejumlah atau
seharga materi pembangunnya, "Man is more than all the sciences
together can say about him" tulisnya.

Manusia, tuturnya lebih lanjut, tidak berperilaku sebagai "anak
alam" tetapi lebih sebagai "orang asing" didalamnya. Perasaan
dasarnya adalah takut, tetapi bukan ketakutan biologis sebagaimana
yang dialami binatang. "It is a spiritual, cosmic and primeval fear
bound to secrets and riddles of human existence". Heidegger
menyebutnya "eternal and timeless determinant of human existence".
Rasa takut ini bercampur dengan rasa ingin tahu, kagum, pengharapan,
perasaan-perasaan yang mungkin merupakan dasar dari budaya dan seni
kita. Reaksi kita yang tidak memadai terhadap dunia ini, sebagaimana
yang diekspresikan dalam agama dan seni adalah merupakan penyangkalan
dari konsep ilmiah mengenai manusia. Jelas, manusia tidak bereaksi
terhadap dunia sekitarnya dengan cara Darwin.

Lebih lanjut Alija menyatakan bahwa selama era zoologi, sebelum
kehadiran manusia, tak ada sesuatupun yang memberikan kepada kita
tanda-tanda akan datangnya periode kebudayaan dan etika primitif.
Bahkanpun jika kita membayangkan periode ini diperpanjang secara tak
terbatas, kebudayaan dan taboo tetap tidak mungkin terjelma. Evolusi
hewan tidak menuju kearah kesempurnaan fisik dan intelektual, dan dari
sana ke arah "super-intelligence" dan "super-animal", kearah
superman-nya Nietzshe. Jika "super-animal" dilahirkan dari proses
evolusi maka dia akan menjadi makhluk tanpa "inner life", tanpa
kemanusiaan, tanpa drama, tanpa karakter, tanpa perasaan

4. Pandangan mengenai teori evolusi

Teori evolusi adalah salah satu teori yang telah menyelusup
kesegenap aspek ilmu pengetahuan. Konsepnya sendiri yang mengandung
implikasi bahwa dunia ini tidaklah statis tetapi terus berubah dan
bahwa spesies kita adalah produk dari proses evolusi tak terelakkan
lagi telah mengubah pandangan dan pemahaman manusia terhadap alam,
terhadap dirinya sendiri, dan karenanya kata evolusi kemudian menjadi
sangat mudah diadopsi untuk dijadikan terminologi bagi banyak cabang
ilmu pengetahuan.

Setelah teori evolusi organik orang kemudian mengembangkannya
menjadi evolusi kimia, evolusi sistem ekologi, evolusi prilaku,
evolusi kebudayaan, evolusi alam semesta, evolusi kehidupan spiritual
dst. Evolusi organik sendiri kemudian dikembangkan menjadi evolusi
makro dan evolusi mikro. Masing-masing dengan pengertian dan
batasannya yang berkembang sendiri walaupun memiliki nada dan irama
yang kurang lebih sama. Karena itu bicara mengenai teori evolusi
harus secara spesifik menyebutkan konsep evolusi yang mana akan kita
bicarakan.

Para ahli biologi dengan kemampuan analisa genetik saat ini telah
berhasil melakukan banyak "manipulasi" dalam skala DNA ataupun
chromosome, disamping itu upaya kawin silang antar varietas atau ras
dalam dunia tumbuhan atau hewan telah berkembang sedemikian maju
sehingga kita kemudian melihat ada berbagai macam jenis anjing, dari
yang paling kecil sampai yang sebesar kambing, dengan bulu yang tipis
atau setebal domba, begitu juga jenis bunga-bungaan, dengan besar
mahkota dan warna yang beraneka ragam, juga buah-buahan. Semua itu
menunjukkan terdapatnya beraneka variasi genetis makhluk hidup dalam
satu spesies, dalam suatu populasi, dalam suatu "gene pool". Darwin
tidak pernah membayangkan bahwa variasi yang terjadi dalam satu
spesies ternyata jauh lebih banyak, berlipat ganda dari yang dia
perkirakan lewat pengamatan morfologis-nya, ia menyatakan bahwa
populasi alam dibangun oleh tipe genetis yang lebih kurang sama,
dengan sedikit sekali variant. Saat ini asumsi diatas berlawanan
dengan bukti bahwa populasi alam memiliki sumber daya variasi genetik
yang luar biasa banyaknya (Ayala, 1978).

Dengan penemuan diatas banyak akhli yang menganggap bahwa
terjadinya variasi genetis seperti itu dalam skala mikro merupakan
dukungan terhadap terjadinya proses evolusi dalam skala makro, karena

mereka menganggap bahwa pola-pola jangka panjang dan sifat alami dan
keanekaragaman makhluk hidup yang ada saat ini secara sederhana adalah
merpakan hasil kumulatif dari proses-proses yang dapat diamati dalam
skala singkat. Pendapat diatas bukan tanpa tantangan, dan inilah
hidupnya dunia ilmiah barangkali, banyak juga yang berpendapat bahwa
konsep evolusi makro dan konsep evolusi mikro adalah dua hal yang
berbeda (Alexander, 1979), secara sederhana memang belum terbukti
bahwa evolusi mikro ini akan mengarah pada evolusi makro. Loncatan
spesies dalam skala populasi yang terjadi dialam dengan mekanisma
seleksi alam masih tetap tinggal sebagai teori.

Darwin juga sadar bahwa jika teori evolusinya ini benar-benar
terjadi di alam,teori itu haruslah juga dapat menjelaskan kesempurnaan
yang tampak dari organisma dan tidak semata-mata sebagai variasi
belaka. Pada awal sekali dia menulis:

"In considering the origin of species, it is quite conceivable that a
naturalist ...might come to the conclusion that each species... had
descended, like varieties, from other species. Nevertheless, such a
conclusion, even if well founded, would be unsatisfactory, until it
could be shown how the innumerable species inhabiting this world have
been modified, so as to acquire that perfection of structure and
coadaptation which most justly excites our admiration".

Darwin beranggapan bahwa variasi yang terjadi pada makhluk hidup
merupakan fenomena transient. Makhluk hidup beradaptasi dengan
lingkungannya. Menurutnya, kebanyakan modifikasi dialam bersifat
merugikan, dan karena itu individu yang termodifikasi ini akan segera
punah melalui mekanisma seleksi alam. Sebaliknya, bila ada modifikasi
yang menguntungkan, suatu peristiwa yang jarang terjadi, individu yang
termodifikasi ini akan lulus hidup dan ber-reproduksi, sebagai
akibatnya mereka akan secara gradual tersebar kesegenap populasi dari
generasi ke generasi sehingga pada akhirnya menggantikan tipe yang
semula dominan.

Disamping itu proses perubahan jenis dalam satu spesiespun
ternyata tidak linear dan juga tidak deterministik. Terbukti ada
mekanisma di alam yang mengatur terpeliharanya komposisi gen dalam
suatu populasi, sehingga menyebabkan gen yang resesif dapat bertahan
dari masa ke masa melalui mekanisma "heterozygote advantage".
Contoh-contoh yang tak terbantah adalah seperti mekanisma pemeliharaan
gen resesif "sickle cell anaemia" yang ternyata memiliki keunggulan
dalam daya tahan terhadap penyakit malaria tropis dibandingkan dengan
gen sel darah normal yang dominan, ini menyebabkan gen resesif
tersebut tetap ada dalam populasi, diturunkan dari generasi ke
generasi (kasus di Afrika).

Bahkan komposisi gen yang sedikit jumlahnya dalam suatu populasi
ternyata memiliki "keunggulan" yang menyebabkannya tidak tereliminir
dari populasi, bahkan akan secara gradual dapat menjadi dominan,
menggantikan jenis yang semula, melalui mekanisma yang dikenal sebagai
"seleksi tergantung frekwensi". Contoh yang paling terkenal adalah
pada sejenis siput di daerah pantai dengan pola garis cangkang yang
berbeda, terbukti pola yang sedikit dapat bertahan hidup ditengah pola
yang dominan karena burung-burung memakan siput dengan pola cangkang
yang dominan. Pada saatnya pola yang tadinya sedikit kemudian menjadi
dominan (karena yang tadinya dominan jadi sedikit akibat pemangsaan),
dan proses yang sama berlaku.

Kenyataan ini justru sejalan dengan ayat Qur'an yang menyatakan
bahwa "Masa itu Kupergilirkan diantara manusia...." barangkali dapat
juga diaplikasikan pada makhluk lain, dalam hal pergantian dominansi
dalam komposisi genetis suatu populasi makhluk hidup, apa saja, di
alam raya.

Berkaitan dengan proses adaptasi dengan lingkungan, Darwin
sendiri sebenarnya mengakui secara jujur akan kelemahan teorinya,
seperti yang ia tuangkan pada bab "Difficulties of the theory" dari
bukunya yang masyhur "On the Origin of Species" (1859). Darwin sadar
bahwa kesempurnaan dan komplikasi yang luar biasa dari organ-organ
adalah merupakan "critical test case" untuk teorinya. Ia menulis:

"To suppose that the eye, with all its inimitable contrivances for
adjusting the focus to different distances, for admitting different
amounts of light, and for the correction of spherical and chromatic
aberration, could have been formed by natural selection, seems, I
freely confess, absurd in the highest degree".


Lewontin (1978), professor Zoology pada Harvard University dan
professor ilmu populasi pada Harvard School of Public Health menulis
kemuskilan terjadinya bentuk dan adaptasi yang luar biasa pada makhluk
hidup sebagai semata berasal dari multiplikasi dan diversifikasi pada
makhluk hidup, ia sampai pada kesimpulan mestilah ini merupakan hasil
kerja yang seksama dan bernilai seni teramat tinggi, sekaligus
merupakan bukti adanya a Supreme Designer.

"Life forms are more than simply multiple and diverse, however.
Organisms fit remarkably well into the external world in which they
live. They have morphologies, physiologies and behaviours that appear
to have been carefully and artfully designed to enable each organism
to appropriate the world around it for its own life. It was the
marvelous fit of organisms to the environment, much more than the
great diversity of forms, that was the chief evidence of a Supreme
Designer".

Salah satu postulat Darwin mengatakan bahwa organisma yang serupa
adalah berkerabat dan berasal dari satu induk yang sama. Seluruh
mammalia, menurutnya, berasal dari satu spesies tunggal, seluruh
serangga memiliki induk yang sama, dan begitu pula seterusnya seluruh
organisma dari kelompok yang lain. Dia menyatakan juga, bahkan, bahwa
seluruh makhluk hidup dapat ditelusur berasal dari satu kehidupan
awal. Pengikut sertaan manusia dalam postulat Darwin sebagai
keturunan yang berasal dari satu jenis mammalia induk bagi banyak
orang dianggap sebagai "unforgivable insult to human race" (Mayr.
1978). Bagi banyak kalangan agamawan, konsep Darwin yang mengikut
sertakan manusia didalamnya juga diangap merupakan insult terhadap
ajaran mereka yang mengatakan bahwa manusia diciptakan Tuhan secara
spesifik, terpisah dan tidak terkait dengan kejadian makhluk lain.
Pendapat yang menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari
evolusi organik tak syak lagi masih merupakan suatu spekulasi dan
terus merupakan perdebatan yang sengit diantara para ilmuwan, terutama
dalam bidang Biologi, Palaentologi, atau lebih tepat lagi antara
'evolutionist' dengan 'creationist'. Washburn (1978) menulis:

"I should remind the reader that some of the oldest and most
troublesome questions about human evolution remain unanswered.
Looking to the future, I expect that molecular biology will determine
the relationships between man and the other living primates and the
times of their mutual divergence more accurately than any other
discipline. But there will still be other major problems,
particularly in determining the rates of evolution. As in the past,
the present proponents of various hypotheses may be wrong on the very
points on which they are surest they are right".


Stephen Jay Gould, ahli palaentologi Harvard University yang
menghantam mekanisma evolusi Darwinism dengan teori "punctual
equilibrium"nya menulis dalam "Evolution Now: A Century after Darwin"
(diedit oleh John Maynard Smith):

"Organisms are not billiard balls, struck in a deterministic fashion
by the cue of natural selection and rolling to optimal positions on
life's table. They influence their own destiny in interesting and
complex and comprehensible ways. We must put this concept of organism
back into evolutionary biology"

Konsep GAIA Lovelock (1988) yang menyatakan bahwa bumi adalah
sesuatu yang hidup (living organism) yang mempengaruhi dan dipengaruhi
secara aktif oleh segenap ekosistem dan makhluk yang hidup di bumi,
tidak disangsikan lagi telah membawa suatu perspektif baru bagi para
ilmuwan dalam melihat alam, dalam menilai kembali proses interaksi
yang terjadi antara makhluk hidup dengan lingkungannya, dengan
biosfer. Ini pada gilirannya kelak akan mempertanyakan keabsahan
konsep adaptasi yang merupakan konsekwensi logis dari konsep seleksi
alam-nya teori evolusi.

Teori evolusi memang tampak indah dan sepertinya memberikan
penjelasan yang mudah mengapa berbagai jenis makhluk memiliki struktur
dan bahkan fungsi yang mirip satu sama lain. Tetapi semakin digali
dengan kaca mata yang paling objektif, manusia akan semakin yakin,
betapa sukarnya dan tak mungkinnya menarik garis yang meyakinkan bahwa
teori itu benar merupakan fakta. Bahkan orang semakin ragu dengan
hipotesa dan kesimpulan yang telah dibuatnya dahulu, mungkin kemarin.
Teori-teori akan gugur berganti seperti sarang laba-laba yang datang
dan pergi, karena dasar pijakan yang digunakan bukan kebenaran yang
hakiki dari Sang Pencipta, Sang Pemelihara.

5. Ilmuwan yang akrobatik dan Muslim yang apologetik

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan akan semakin banyak hal-hal
yang dapat diungkap mengenai rahasia alam. Sayangnya umat Islam atau
umat beragama secara umum tidak lagi berada pada front terdepan dalam
penggalian ilmu pengetahuan, sehingga menimbulkan kesan seakan ilmu
pengetahuan adalah suatu dimensi sementara "agama" adalah dimensi
lain, dan kedua dimensi ini seakan berjalan ke arah yang berbeda dan
bahkan berangkat dari titik yang berbeda dan seakan tidak pernah
paralel, bahkan seakan semakin jauh, semakin jauh terentang jarak
antara keduanya.

Sayangnya lagi hasil-hasil pengamatan dan penelitian para ilmuwan
sebagian besar tidak disokong oleh objektivitas dalam mengambil
kesimpulan, tetapi lebih disesuaikan dengan "kesepakatan" ilmiah yang
didasari oleh suatu prinsip dan aturan main sendiri yang pada dasarnya
mengesampingkan ajaran agama. Hanya sedikit sekali lahir
ilmuwan-ilmuwan sejati yang berani menguak "tempurung" ilmiah ini dan
melahirkan teori-teori yang berlawanan dengan arus umum. Waktu pada
akhirnya kelak akan membuktikan kebenaran firman Tuhan walaupun
kebenaran itu telah dibungkus dengan serapi-rapinya oleh para
"ilmuwan" dengan segala kemahiran akrobatik mereka.

Teori Evolusi mengenai manusia adalah sekedar contoh bagaimana
timbul ketidakserasian antara ilmu pengetahuan dengan paham keagamaan.
Seorang beragama apakah ia Islam, kristen atau yahudi percaya bahwa
manusia pertama adalah Adam (baik secara biologis maupun secara
sosiologis) yang diciptakan Tuhan bukan di bumi ini, tetapi di surga
sana. Tampaknya begitu juga dengan kepercayaan Hindu dan Budha dan
ajaran agama yang lain bahwa manusia adalah "pendatang" di bumi ini,
sebab nenek-moyangnya dulu diciptakan Tuhan dan tidak merupakan produk
dari proses evolusi yang terjadi di alam raya.

Datanglah Darwin dan para pendukungnya, dengan menggunakan
berbagai metoda dari yang paling primitif (observasi) hingga yang
paling canggih saat ini (Molecular biology) menyatakan bahwa manusia
adalah hasil dari proses perubahan yang panjang dari hewan induknya di
bumi dahulu. Sebenarnya banyak juga ilmuwan yang telah menemukan
fakta-fakta dan bukti-bukti yang tampaknya tidak mendukung teori
evolusi Darwin.

Menanggapi hal diatas banyak kalangan pemeluk kristen yang masih
ta'at berusaha terus untuk melawan arus paham evolusi ini. Usaha yang
mereka lakukan barangkali mungkin agak naif bagi dunia ilmu
pengetahuan karena Bibel memang tidak mengandung nilai-nilai yang
akurat. Kebencian terhadap ajaran-ajaran kristen inilah yang telah
terpahat dalam dunia ilmiah sehingga menyebabkan kebencian terhadap
segala paham agama secara umum. Sejarah masa lalu sains memang tidak
menyenangkan, agama seakan monster laknat yang akan senantiasa
berhadap-hadapan dengan dunia ilmu pengetahuan dengan dalil-dalil
"ortodok"nya untuk menyerang dan menyerang tanpa dasar "ilmiah".

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa teori evolusi
sebenarnya masih penuh dengan kelemahan-kelemahan.
Kelemahan-kelemahan inilah yang dengan sengaja ditutup-tutupi dengan
bahasa "ilmiah". Yang jelas secara genetika populasi proses evolusi
kalaulah memang itu terjadi pada makhluk hidup, tidak semudah, tidak
se-linear, tidak sesederhana gambaran Darwin, Mendel dan lainnya. Ia
adalah suatu proses yang dalam dimensi waktu luar biasa lambatnya,
diluar kemampuan manusia untuk memahaminya. Penemuan- penemuan
mutakhir menunjukkan bahwa variasi makhluk hidup pada jaman purbakala
sebetulnya telah mencapai kompleksitas yang sangat tinggi, tidak kalah
dengan variasi yang ditemukan saat ini, bahkan mungkin lebih
bervariasi lagi. Thus, komposisi makhluk hidup tampaknya tidak
mengalami proses evolusi dari level yang sederhana ke level yang
kompleks, tetapi yang terjadi malah mungkin sebaliknya yakni dari
tingkat keragaman yang tinggi ke tingkat keramagan yang rendah, atau
ada suatu titik optimum suatu saat dimana kemudian variasi menurun
karena pengaruh lingkungan.

Berpuluh-puluh juta species telah, sedang dan masih akan hidup di
muka bumi dari yang paling "sederhana" hingga yang paling kompleks
susunan dan fungsi tubuhnya. "Sederhana" karena
sesederhana-sesederhananya makhluk hidup dia tetap lebih kompleks
struktur dan fungsinya dibandingkan dengan gedung atau menara atau
komputer atau peralatan canggih apapun yang dibuat manusia. Karena
itu misalnya mengatakan bahwa terjadinya makhluk hidup awalnya adalah
melalui proses alam yang terjadi secara random adalah sama dengan
mengatakan terjadinya menara Eifel melalui proses alam secara random
tanpa campur tangan manusia (Maurice Bucaille, 1985), suatu hal yang
tentu saja mustahil, dan sains tampaknya mengambil dasar yang mustahil
ini untuk sekedar mencari jawab dan dapat mengelak dari konsep
"penciptaan". Sains memang terus akan berusaha untuk mengelak adanya
campur tangan zat Supra natural dalam proses-proses yang terjadi di
alam.

Tuhan bagi banyak ilmuwan tampaknya adalah alam, karena itu
mereka berkata seperti "hukum alam", bukan "hukum Tuhan" yang mengatur
alam raya ini dan yang mengatur adanya fenomena-fenomena yang terjadi
di alam. Alamlah katanya yang telah mengatur terjadinya proses
evolusi. Bumi, langit dan segala isinya katanya mengatur dirinya
sendiri. Sains dan teknologi saat ini tidak mengenal pendekatan
"supra natural", ia adalah suatu tabu. Ketika Darwin mengemukakan
bahwa teori "natural selection"nya juga berlaku untuk manusia, cuma
Wallace yang dengan tegas menolak ide tersebut dengan lantang, dan
Wallace-pun nyaris dilupakan orang.

Paling tidak ada sepuluh faktor yang menyebabkan kondisi populasi
dalam keadaan nyaris terus seimbang pada setiap masa dan ini menjadi
ganjalan paling besar (secara ilmiah) dari kebenaran teori Darwin,
yakni: spatial clines, temporal clines, heterozygous advantage,
sexuality dan self-incompatibility factors, sex differences in
genotypic fitness, mutation-selection balance, host-pathogen
interactions, non-Darwinian selection yakni frequency-dependent
selection, non-Mendelian inheritance dan neutral genes. Terjadinya
faktor-faktor diatas sebenarnya menunjukkan bahwa "evolusi" adalah
sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam skala waktu yang dapat
dipahami manusia (Haldane, 1954; Mayo 1983) disamping peluang
terjadinya perubahan secara alami yang menyangkut skala populasi
sangatlah kecil, akibatnya proses spesiasi (pembentukan spesies baru)
berlangsung dalam skala waktu yang kelambatannya diluar jangkauan
berpikir manusia. Menyadari hal ini ilmuwan bukannya mencari
alternatif bagi teori evolusi tetapi cenderung menyederhanakan
permasalahan dalam bahasa "ilmiah"nya dan mencari alasan-alasan dalam
upaya menangkis segala hal yang akan meruntuhkan teori evolusi. Teori
evolusi kokoh bukan karena dukungan fakta ilmiah tetapi lebih oleh
kefanatikan para ilmuwan penyokongnya dan kelihaian mereka dalam
memutar balikkan fakta-fakta ilmiah.

Banyak fenomena lain dalam bidang biologi yang belum lagi dapat
dipahami dengan baik, masih dalam bentuk "hipotesa-hipotesa" dan
sebegitu jauh fakta dan teori yang ada hanya "diarah"kan (dengan suka
rela ataupun paksa) agar sesuai dan mendukung teori evolusi, walaupun
dengan jalan yang berliku-liku, sebab evolusi telah terlanjur dianggap
sebagai dasar dari ilmu biologi. Berusaha untuk meruntuhkan dasar
sama saja dengan "bunuh diri" dalam dunia ilmiah. Dan proses
"pemunafikan" dalam ilmupun berlangsung dari tahun ketahun hingga
lebih dari seabad kini semenjak teori tersebut pertama kali
dicetuskan. Nyaris tak ada ilmuwan yang dengan vokal berani menantang
teori evolusi itu yang telah merasuk ke dalam tulang sumsum segenap
cabang ilmu pengetahuan, bukan hanya biologi, kecuali kalau dia mau
dicap sebagai seorang yang "asing" dalam dunia ilmiah. Sains tak
lebih baik dan tak lebih ramah dari dunia politik. Dan Islam datang,
sebagaimana ia membersihkan dunia politik, ia akan membersihkan dunia
ilmu pengetahuan, mengangkat dan menumbuhkan segala sesuatu yang baik
dan membuang segala sesuatu yang kotor.

Sayangnya Sementara ini umat Islam dalam posisinya yang terhimpit
dan tersudut banyak yang lari kepada sikap apologetik, lalu menyatakan
bahwa "Al Qur'an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan".
Walaupun pernyataan itu tidak salah tetapi mengandung makna
tersembunyi, semacam ketakutan untuk menyatakan sikap, menyatakan
kebenaran, menyatakan dengan sebenarnya apa kata-kata yang tersurat
dan apa makna yang tersirat dari kandungan Al Qur'an.

Sains dalam paradigma sekuler dengan angkuhnya menafikan adanya
dan kuasanya Sang Maha Pencipta, yang dapat menciptakan sesuatu
menurut kehendaknya. Karena itu bila kemudian ada yang mengatakan
bahwa Islam mendukung dan sesuai dengan sains, sebenarnya dia lupa
bahwa Islam jauh-jauh lebih tinggi dari pada sains, dan ajaran Islam
secara mendasar tidak paralel dengan filosofi sains. Al Qur'an tidak
dapat dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia saat
ini. Al Qur'an adalah induk dari segala pengetahuan dan hikmah.
Kebenaran ilmu pengetahuan sangat bersifat relatif sementara kebenaran
Al Qur'an bersifat mutlak dan abadi. Karena itulah pernyataan diatas
mengandung bahaya, mensejajarkan kedudukan Al Qur'an dengan ilmu
pengetahuan, adalah sebuah "blunder". Al Qur'an mestilah membentuk
ilmu pengetahuan dan bukan sebaliknya.
Lahirnya interpretasi-interpretasi "aneh" dikalangan pemeluk
Islam menjadi tak terhindarkan dalam upaya untuk menyatakan bahwa
"Islam itu sesuai dengan ilmu pengetahuan". Khusus dalam kasus
evolusi dikatakan misalnya bahwa Surga tempat diciptanya Adam adalah
suatu tempat dibumi. Pendapat ini tentunya diungkapkan untuk
menghindari benturan yang tak terelakkan dari hadirnya kehidupan
sebelumnya dibumi dari mana manusia katanya berasal. Pernyataan ini
sama sekali tidak memiliki dasar dalam Al Qur'an, tidak yang tersurat
tidak pula yang tersirat.

Surga yang dijelaskan Al Qur'an memiliki karakteristik yang
menyebabkannya tidak mungkin berada di bumi, didalamnya orang tidak
merasa kepalaran, kehausan, tidak telanjang dan tidak kepanasan
terkena cahaya matahari. Menyatakan bahwa surga dimana Adam pertama
kali ada dulu sebagai di bumi justru bertentangan dengan prinsip sains
yang paling pokok: kehadiran awal matahari sebagai sumber energi bagi
bumi sebagai persiapan untuk menyokong adanya kehidupan diatasnya.
Lebih lanjut dialog yang pernah terjadi antara Tuhan dengan Malaekat,
Iblis dan Adam beberapa saat sebelum dan setelah penciptaan Adam
menunjukkan tempat yang jauh dari bumi. Bumi bukan tempat para
Malaekat dan Arasy dimana Tuhan bertahta dan memberi komando.

Adapula yang mengatakan bahwa secara jasmani Adam memang
"tercipta" melalui proses evolusi sementara secara "rohani" dia tidak
berkaitan dengan proses tersebut. Artinya Adam adalah "hewan" hasil
evolusi yang diberi ruh Tuhan secara tiba-tiba di bumi, barangkali ini
merupakan jalan perdamaian yang tampaknya mulus, tetapi Al Qur'an
tidak menyokong pendapat seperti ini. Adam adalah manusia yang secara
utuh dicipta Tuhan baik secara jasmani (dicipta secara khusus dari
tanah) maupun secara ruhani (ditiupkan ruh Tuhan) dan diberi
pengetahuan mengenai alam sekitarnya dalam suatu proses penciptaan
yang unik tak berhubung kait dengan makhluk lain.

Sikap apologetik umat Islam ini yang tampaknya merupakan akibat
dari penyakit "inferiority complex" adalah sesuatu yang berbahaya.
Muslim menjadi manusia dengan kepribadian ganda, "split personality",
di satu pihak dia ingin hidup dalam kepercayaannya, dipihak lain dia
tak mau dicemooh oleh dunia ilmiah yang secara terang-terangan anti
agama. Dengan kondisi seperti ini umat Islam tidak akan pernah dapat
maju, sebab ia menjadi kehilangan kepribadian tanpa vitalitas, ia akan
tetap menjadi budak para "ilmuwan" yang anti Tuhan dan pada saat yang
sama tidak juga menjadi muslim yang sejati.

Seandainya umat Islam teguh dalam memegang ajaran agamanya,
betapapun itu menimbulkan benturan dengan dunia ilmiah, ia tetap tidak
akan goyah, justru ia akan tetap tegar, tumbuh, berkembang, tidak
menjadi anak bawang tetapi menjadi "lawan" atau "partner" yang
diperhitungkan dan pada gilirannya kelak, inshaallah, akan menjadi
master ilmu pengetahuan, seperti pernah terjadi pada beberapa abad
yang lampau dijaman kegemilangan Islam.

Firman Allah itulah yang benar, dan khusus mengenai penciptaan
Adam as, Allah menegaskannya:

"(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang
dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang
ragu". (Q.S.3:60).

Apakah kita akan meyakini itu atau menjadi ragu, terpulang kepada
pribadi masing-masing, dan kepada Allah kita kelak akan
mempertanggungjawabkannya.

CERTIFICATE

Halaman dilihat

View My Stats
http://www.paid-to-promote.net/member/signup.php?r=tantan44

daftar di alamat url diatas, dapat dollar gratis!